Halaman terakhir, lembar paling belakang buku itu. Penuh. Dijejali memori-memori absurd. Begitu jelas sekaligus ganjil. Kentara, tetapi samar. Emosinya meluap-luap, menguntai acak, berantakan, tumpang-tindih. Bak, seluruh percikan jiwanya tumpah ruah, memenuhi permukaan lembarannya. Seakan-akan, itu adalah seluruh dirinya, si Pria Kelabu. Si Kelabu yang Kontras. Si Kelabu yang Samar.
“Kau mulai kehilangannya.”
Sunyi. Sejenak.
“Perlahan tapi pasti. Memori itu mulai terasa amat jauh, bukan?”
Si Pria Kelabu membalas dengan keheningan, seakan-akan memberi anggukan samar. Tak membantah lebih jauh ucapanku.
Ranap.
“Aku ingin pulang.”
“Aku ingin kembali, lekas mengusir asing.”
“Namun, hari esok masih terasa menakutkan.”
“Rasa takutku masih … mencekam.”
“Kau tak akan pernah bisa kemba—”
“Aku tahu.”
Lengang. Aku tercekat sesaat, menyadari si Pria Kelabu lekas menerkam balik ucapanku. Memotongnya paksa.
“Aku tahu. Aku tahu tak kan pernah ada jalan pulang. Aku tahu.”
“Bahkan jika aku menemukannya … aku tahu tak ada lagi rumah untuk disinggahi. Tak ada lagi rumah untuk pulang. Aku tahu. Sekalipun aku bersikeras mengulang memori-memori itu, aku tahu .…”
“Semua tak akan pernah sama lagi. Tak akan pernah.”
Kelabu. Gerimis. Hujan memutuskan untuk singgah, sejenak. Menghapus sendu (sepantasnya). Menikam sembilu (seharusnya).
“Kelabu Semu”, Ghania Parsa R.
__________
Hujan. Apakah langit tengah menangisi keadaan atau hanya sedang mengerjakan tugasnya mengembalikan air ke dalam tanah? Sejuk atau sendu yang dirasa selama rinai itu berlanjut menghunjam tanah? Tiap insan tidak tahu pada ranah apa hujan harus tinggal, pembawa kesedihan atau sekadar rintik air yang berjatuhan dari langit, atau bahkan rahmat, karena tiap insan memiliki kisahnya sendiri tentang tangisan langit yang menghunjam bumi.