“Aku kecewa!”
Suasana seketika berubah kelabu. Mereka membelakangi sembari merapalkan maaf yang tak seharusnya, padaku. Anak sulung ini terlalu percaya diri mengandalkan perasaannya. Kami meruntuh lalu patah. Lagi-lagi, kecewa dan maaf hanya menjelma kata. Bahkan, tak sampai aku berbuat mesra.
Kini, aku tak akan lagi memandang aku. Bukankah aku akan lebih baik menjadi kita? Mereka tak lagi membelakangi, tanda mengerti bahwa kami akan belajar banyak setelah ini. Kami percaya dengan sangat, Allah Mahakuat. Kekuatan ini bertambah lapang bahkan setelah kepulangan kekasih hati.
Hm, bagaimanakah proses merajut kita dilalui? Berisikan antologi puisi, buku Merajut Kita ini dibuat untuk para pembaca yang tengah kehilangan manusia terbaik dan hendak belajar beradaptasi setelahnya. Bagiku, kehilangan adalah kado terindah dari Allah, tiba-tiba lagi penuh makna. Dengan itu, keterlibatan Allah akan menentukan derajat keindahan akhir episode ini, bagaimanapun setelahnya.