Penyair adalah makhluk paling andal berkarya lewat derita, lewat duka, dan rindu di dada mereka. Setiap hal yang terjadi mereka jadikan risalah untuk berbicara kepada semesta. Seperti halnya hujan yang kali mereka artikan sebagai kesedihan mereka tentang rindu, tentang kehilangan, tentang pengkhianatan, tentang cinta diam-diam, tentang kehancuran, dan tentang dia?orang yang menetap pada hati mereka. Seperti hujan, para penyair adalah ketidakabadian yang Tuhan ciptakan di bumi ini, namun melalui aksara, melalui susunan kata yang mereka cipta menjadikan mereka tetap hidup meski telah tiada.
“Hujan dan cinta fitrahnya adalah rahmat dari Allah. Menafakuri keduanya dengan hati yang jernih menjadi penting adanya. Membaca buku antologi Memeluk Hujan menurut saya bisa menjadi salah satu alternatif cara kita mengeja hujan dan cinta. Selamat membaca.”
-Nur Afilin, Ketua FLP Jakarta-
“Puisi-puisi dalam kumpulan Memeluk Hujan seperti sedang berbisik pelan, tentang kedekatan para penulisnya memaknai hujan, sore, dan kesendirian. Ketiga penulis di dalam Memeluk Hujan, masing-masing memiliki ciri khas tersendiri; ada yang sederhana, berseri-seri, sampai yang suka merenung. Sebuah tulisan yang bisa dinikmati sambil minum secangkir kopi sambil mengenang sesuatu yang telah pergi dan dirayakan sesuai suasana hati. Begitulah adanya, lembut dan menyenangkan.”
-Faisal Syahreza, Penulis Novel Memeluk Kehilangan-
Penulis
Winda S. Septiana, Adipati Deiter, Riana Ratno Juwita
Penyunting
Cantika Hana Hanifah
Penata Letak
Niken Hapsari Cahyarina
Penata Sampul
Hanung Norenza Putra
Bandung; Ellunar, 2018
x+75hlm., 14.8 x 21 cm
ISBN: 978-602-5938-42-9
Cetakan pertama, Oktober 2018
Harga
Rp35.000