Bismillahirrahmanirrahim.
Hello, fellow authors!
Writers don't retire. Writers never stop writing! Di hari peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-73 ini, Puspus kembali mengajak Ellunar membawakan lomba menulis keduanya untukmu—yang menjadikan kegiatan menulis sebagai kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Tema dan genre lomba kali ini bebas. Apa pun yang ingin kalian pikirkan saat ini boleh dituliskan. Syaratnya, naskah tidak lebih dari 700 kata/5000 huruf dan konten harus dapat dibaca oleh semua umur ya! Mengingat buku hasil lomba ini juga akan turut didonasikan ke berbagai perpustakaan di Indonesia. :)
Jenis lomba kali ini adalah cerita mini atau cerita sekilas: cerita yang lebih ringkas dari cerpen. Beberapa kali Ellunar mengadakan lomba cerita mini, masih banyak yang mengabaikan atau mungkin kurang paham aturan mainnya. Yang perlu kamu ingat, cerita mini tidak harus punya plot yang kompleks, tidak harus punya perkenalan-konflik-klimaks-antiklimaks-penyelesaian, serta tidak perlu banyak tokoh. Cerita mini hanya sebuah cuplikan, yang tetap membawa nilai untuk pembaca. Terlihat sederhana, tapi perlu pemikiran yang bijak dari penulisnya. Gunakan lomba ini sebagai kesempatan untuk mencoba atau mengasah kemampuan menulis cerita mini versi kamu! Kalau kamu masih bingung seperti apa cerita mini yang kami maksud, atau mau cari inspirasi tambahan, atau sekadar iseng cari bacaan, kamu bisa baca beberapa contoh cerita mini di bawah ini:
Bulan Bisa Apa oleh Ligeia Hardy
Pemenang Juara 1 Lomba Menulis Ellunar Tema Bulan
Buku: Beneath the Same Moon (2014)
Total: 602 kata
Kali ini aku tidak boleh menggagalkannya. Untuk pertama kalinya, aku berani mengajaknya keluar makan malam denganku. Berdua saja.
Aku tak begitu yakin dengan apa yang kulakukan minggu lalu ketika aku tiba-tiba memutus pembicaraan kami. “Kau sibuk minggu depan? Ada waktu untuk makan malam denganku di restoran yang baru buka di dekat sini?”
Ia tiba-tiba diam dan menatapku dengan matanya yang besar dan cerah. Tangannya menutup mulutnya, seperti tidak percaya. Aku bisa melihat pipinya terangkat, membentuk senyuman yang ia sembunyikan. Ia sedikit tertawa, sambil kepalanya menggeleng, kemudian berubah menjadi anggukan ringan. Ia berkata, “Ya, ya tentu saja.”
Baik, jadi dia kini di depanku. Bajunya berwarna biru tua dan rambutnya tetap hitam mengilap seperti biasanya. Ia memakai riasan wajah yang agak sedikit lebih tebal dari biasanya. Kami baru saja memesan makan malam. Kini aku tak tahu harus berbuat apa.
Ia tersenyum melihatku kemudian menunduk setelah beberapa saat. Ia melirik ke arah bangku orang lain, maksudku, pasangan lain. Ruangan ini dipenuhi laki-laki tukang gombal dan ia ingin aku menjadi salah satu dari mereka. Itu terlihat jelas dari matanya yang berbinar ketika menatap pasangan pria memuji-muji gadis mereka.
Aku jelas tidak memulai ini semua dengan baik. Aku tidak menjemputnya: buruk. Aku tidak memuji penampilannya: sangat buruk. Aku tidak menarik kursinya ketika ia ingin duduk: hancur. Aku tak mengerti kenapa ia masih di sini denganku dan wajahnya tidak berubah menjadi masam. Aku membosankan dan parahnya aku sangat gugup. Baiklah. Pikirkan sesuatu. Aku bisa memujinya. Sederhana saja.
“Kau seperti bumiku.”
Ia segera menoleh padaku dan tersenyum. Namun, senyumannya seperti ingin menahan tawa. “Hah, apa? Bumi? Kenapa?”
“Karena ... yah ... kau tahu ...” Sial. Aku mengacaukannya lagi.
“Tidak apa-apa. Aku mau dengar,” katanya dengan suportif. Senyumnya merekah kembali.
“Bumi,” ujarku tanpa ragu, “ditarik matahari, ‘kan? Kau tahu gaya gravitasi—tentu saja kau tahu, maaf aku tak bermaksud meremehkanmu—semakin besar suatu objek dan semakin dekat objek itu, maka ia bisa menarik planet di dekatnya dan membuatnya berputar-putar di sekeliling-nya begitu saja. Bumi dekat dengan bulan. Lebih dekat dengannya dibandingkan dengan matahari. Tapi bulan lebih kecil daripada matahari, apa kendalinya lebih lemah pada bumi? Kujawab secara gravitasi, ya. Tapi tentunya kau ingat pada peristiwa pasang-surut laut di mana pada kasus itu, bulanlah yang menguasai bumi, lebih kuat daripada matahari. Matahari memang sangat kuat hingga bisa menguasai bumi. Namun, bumi juga lebih kuat karena tidak ada objeknya yang terbang ke arah matahari, karena bumi lebih kuat pengaruhnya pada dirinya sendiri.”
Yang kurasakan kini adalah rasa canggung yang berlebih. Aku harap ia paham, tapi yang ia lakukan hanya tersenyum kecil, seperti senyuman formalitas dan mulai menarik napas kemudian menegakkan posisi duduknya.
“Lihat, aku mengacau lagi,” ujarku, “aku selalu gagal dalam hal seperti ini. Maaf.”
“Tidak, tidak. Aku paham dengan apa yang kau katakan.” Ia tersenyum lagi, selebar biasanya. “Maksudmu adalah, aku seperti bumi karena aku mampu menarik bulan—yaitu kau, dan membuatnya berputar-putar di sekelilingku. Aku juga ditarik oleh matahari yang lebih superior dari bulan. Tapi, aku masih memiliki pendirian dan keputusan. Sama seperti gaya gravitasi yang kumiliki terhadap objek-objekku di permukaan bumi. Namun, kenapa aku bisa mengalami pasang-surut yang dilakukan bulan, sementara akulah yang mengatur bulan, dan ada matahari yang jauh lebih superior untuk mengatur pasang-surutnya?”
Aku agak tercengang, “Ya. Semacam itulah ... Aku memang buruk tentang masalah kencan ini. Aku tak bisa menjadi seperti laki-laki lain yang memperlakukan gadis mereka dengan lebih baik.”
Tiba-tiba tawanya terhenti, wajahnya berubah, “Tapi itu yang paling kusuka darimu. Itu pasang-surutmu. Kau begitu kaku, begitu ... entahlah, ilmiah, barangkali?”
Pada akhirnya makanannya kami bawa pulang dan kami menghabiskan sisa malam untuk menonton Wonders of the Universe. Dan, ya ... kurasa sekarang kami berkencan. Entahlah.[]
Duduk Berdua oleh Pii
Pemenang Juara Favorit Lomba Menulis Ellunar Tema Cinta Monyet
Buku: Solve Together (2015)
Total: 700 kata
Kelas yang hening mengantarkan kita pada berontaknya rasa malu. Jarak dekat yang tak pernah mempertemukan kita pada satu percakapan membuat kita terasa begitu jauh. Di kelas 5A, saat itu hanya ada aku dan kau. Sementara yang lain belum selesai berganti pakaian dari kelas olahraga kita. Lucu memang, aku tak tahu ini mulai dari mana. Mungkin kau juga begitu. Teman-teman yang sama lugunya namun sedikit jail, menyorakkan kata “ciee” saat kau meminjamkan pulpen. Kejadiannya sudah setahun lalu, saat kita baru duduk di kelas 4.
Sejak kata “ciee” itu, aku memandang wajahmu yang nanar, kurasa kau kecewa. Sikapku membuat teman kita bersorak. Kau memang pemalu. Wajah putihmu menandakan warna yang merah merona. Segera kau membalikkan badan, lalu tak berbicara lagi padaku sampai sekarang, saat kita sudah duduk di kelas 5. Yandi yang kukenal sekarang tak seperti yang dulu.
Aku sebenarnya sedih. Jauh sebelum teman-teman bersorak pada kita hanya karena meminjam pulpen, aku memang suka melihatmu. Wajahmu imut. Kebahagiaan kecilku adalah saat aku mencuri pandang, lalu mata kita saling bertatap. Kacamata yang kukenakan membuatku merasa tak pantas. Aku anak yang cupu, hitam. Kau anak yang imut, putih. Ah bagai tanah yang merindukan langit.
Kebungkaman ini mungkin salah. Seharusnya kita tetap saling bicara agar teman-teman tidak curiga. Namun aku juga tak punya nyali untuk sekadar menyebut namamu. Sudah setahun aku fokus berdiam, bersembunyi pada mata yang tak selalu berhasil mencuri pandang padamu. Meski banyak yang berbisik, aku dapat salam dari salah satu teman kita, Kamal namanya. Aku tak peduli karena itu hanya cara mereka jail, sama seperti yang dilakukan pada kita.
Di kelas yang hanya ada kita berdua, aku sekilas melihatmu sedang sibuk merapikan pakaianmu. Tempatmu yang berjarak dua bangku di belakangku membuatku sulit menoleh, aku khawatir kau melihatku. Aku hanya sekali berbalik ke arahmu, tak mau lagi.
“Cieee jadi dari tadi cuma berdua di kelas? Tapi kalian masih diem-dieman. Malu yaa?” Yesi datang menyenggolku. Ia datang bersama teman-teman yang lain. Sementara beberapa teman juga sibuk menggodamu. Mereka tahu kau tidak suka Matematika, yang kau sukai hanya bahasa Indonesia. Kau pandai dalam berpuisi dan mengarang cerita.
Pak Imam, guru matematika datang. Tapi di kelas masih kurang dua orang. Alan, teman sebangku Kamal dan Tio, teman sebangkumu. Teman-teman yang lain sedang sibuk menyelesaikan PR-nya, sebagian dari mereka menyontek pekerjaanku. Sedangkan kau tidak pernah meminta bantuanku, kau selalu minta bantuan Kamal yang juga pandai Matematika.
Semua tugas telah terkumpul di meja guru. Pak Imam mulai membahas PR-nya. Aku yang sedang serius mendengarkan penjelasan Pak Imam berbalik karena Kamal menepuk bahuku. Ia hanya memberi secarik kertas tanpa melihatku, wajahnya menunduk, alisnya mengkerut. Wajahnya begitu serius memperhatikan buku tugasnya. Tanpa berkata apa-apa, aku mengambil kertas di tagannya.
Aku butuh bantuanmu, aku bingung dengan bagian yang ini. Kamu mau nggak duduk di sampingku? Ajarin aku. Makasih kalo mau, kalo nggak juga nggak papa kok.
Aku refleks tersenyum dan tertawa kecil. Kamal ini lucu, minta diajarin Matematika aja pake nulis surat , batinku. Aku segera mengangkat buku tugasku, dan berpindah ke belakang tempat Kamal duduk. Saat aku duduk, Kamal tak berbicara sedikit pun padaku. Aku yang memancingnya,
“Bagian mana yang kamu tidak mengerti?” tanyaku polos. Dengan wajah yang heran dan malu-malu, Kamal menunjuk baris ketiga yang dituliskan Pak Imam di papan.
“Ini dapat dari mana?” Ia bertanya padaku. Teman-temanku saling berbisik, mereka bilang “cieee…” Ada juga yang bilang, “Liat tuh, Ella sama Kamal duduk berdua!” Sedangkan aku hanya sibuk membuat Kamal mengerti tentang bagian yang ia tunjuk. Setelah Kamal mengerti, aku dan dia kembali memperhatikan penjelasan Pak Imam. Aku tetap duduk berdua dengan Kamal karena kurasa ia sedang butuh bantuanku.
Saat aku sedang serius mendengarkan penjelasan Pak Imam, aku kaget karena seseorang di belakangku menepuk bahuku. Aku tak langsung berbalik karena hatiku berkata, bukannya yang duduk di belakangku itu Yandi? Kenapa dia menepuk bahuku? Tepukan pertama aku tetap pada posisiku, ia kembali menepuk bahuku. Saat aku berbalik, ternyata benar itu kau . Aku melihat dengan teduh wajahmu yang tersenyum padaku, matamu begitu manis. Kau juga memberiku secarik kertas seperti yang tadi Kamal berikan padaku. Aku mengambilnya.
Surat yang tadi kamu baca itu bukan dari Kamal, tapi dari aku. Aku cuma minta tolong Kamal buat ngasih ke kamu. Yandi.
Astaga! Aku segera meremas kertasnya. Seharusnya sekarang aku duduk berdua denganmu, Yandi. Bukan Kamal![]
Remember December oleh Rina Fatiha
Pemenang Juara 1 Lomba Menulis Desember
Buku: December Sun (2016)
Total: 691 kata
Selamat sore semuanya. Bagi yang belum mengenalku, baiklah, aku Gunvald Larsson, ayah dari pengantin perempuan yang cantik dan menawan pada sore ini, Miss Agatha “Aggie” Rydeen. Bersama istriku, Theodora, dan orang tua Mac―Ryan dan Terry―kami menyambut Anda semua yang telah bersedia meluangkan waktu untuk merayakan hari paling spesial Aggie dan Mac. Aku harap, cuaca musim panas Sydney tidak menyurutkan semangat kita untuk ikut bergembira bersama Aggie dan Mac.
Aku berterima kasih kepada kerabat jauh dari pihak Theodora yang jauh-jauh datang dari Inggris, Wales, dan Irlandia. Tidak lupa kuucapkan banyak banyak terima kasih kepada adikku Aksel―yang menyempatkan dirinya untuk menghadiri pernikahan keponakan tersayangnya. Aksel Larsson, seorang pebisnis internasional yang selalu mengaku tidak-punya-waktu itu, kini ia benar-benar datang dan duduk di pojok sana. Menyesap champagne dan bergembira bersama kita semua. Terima kasih Aksel.
Seperti pidato-pidato pernikahan pada umumnya, jelas kalian semua berharap aku membocorkan sedikit momen memalukan atau rahasia masa kecil Aggie. Tapi aku tidak mau membuang waktu selama sepuluh menit ini hanya untuk berbicara keburukan Aggie. Karena pertama, Aggie akan membenciku selamanya, dan yang kedua, butuh waktu lebih dari semalam untuk menceritakan semuanya. Aku jamin seratus persen kalian tidak mau mendengarkan aku bercerita hingga semalam suntuk.
Aggie. Harta karun berharga yang pernah aku dan Theodora miliki. Kami benar-benar bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengasuh dan menghabiskan waktu bersamamu, Nak. Tangisan pertamamu di Ruang Bersalin Sydney Hospital pada 2 Desember 1990 pukul 09.30 pagi, semakin menghangatkan musim panas kami. Sejak kelahiranmu itu, kami percaya bahwa Desember adalah bulan terindah, penuh keberuntungan dan kebahagiaan—setidaknya hingga usiamu delapan tahun dan sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi di penghujung tahun 1998. Ya, hiu putih memporak-porandakan liburan musim panas kami di Ballina, New South Wales. Aggie terluka parah, kehabisan banyak darah, dan lengan kanannya koyak. Dokter terpaksa mengambil jalan amputasi demi menyelamatkan nyawa Aggie. Percayalah, sangat menyiksa sekali menyaksikan putri kami terbaring lemah hanya dengan satu tangan tersisa. Sejak saat itu, Desember bukan bulan yang menyenangkan seperti dulu lagi. Tak ada lagi liburan musim panas di pantai.
Aggie—diambil dari nama panggilan kesayangan ibuku, Agnes―dengan harapan agar ia mewarisi kegigihan dan kesabaran ibuku. Dan dengan bangga, aku menyatakan bahwa kegigihan dan kesabaran hati Aggie terlihat sejak insiden mengerikan itu. Ia tetap bersemangat melanjutkan hidup dan gigih meraih impiannya sebagai dokter hewan. Asal kalian tahu, Aggie merupakan lulusan terbaik Fakultas Kedokteran Hewan Western Sydney University dan—kini—menjadi salah satu dokter hewan terbaik di kota ini. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi orang-orang yang meledek dan merundungnya. Bahkan ia pernah berkata padaku saat usianya dua belas tahun―saat kami baru saja pulang dari kebaktian pagi―sambil tersenyum. “Tuhan Maha Pengasih, Dad. Aku bersyukur karena aku masih diberi kesempatan hidup walaupun dengan satu tangan.” Jujur saja, perkataannya pagi itu membuat kami dihantam rasa malu. Aku lantas berpikir, aneh rasanya jika kami terus berkubang dalam penderitaan dan kesedihan. Maka kami bangkit demi Aggie. Bertekad menjadi suporter setianya, yang selalu menyediakan tangan untuk menangkap kala ia limbung atau terjatuh. Desember akhirnya kembali menjadi bulan yang menakjubkan seperti dulu lagi.
Oh, Aggie saat aku mengantarmu ke altar tadi pagi, aku teringat sesuatu. Sesuatu yang aku harap akan kau ingat selalu. Ya, Remember December —Ingatlah Desember. Ingatlah bahwa banyak momen menakjubkan yang terjadi di bulan Desember. Kelahiranmu, insiden hiu putih, kelulusan, bahkan pernikahanmu . Memang diantaranya ada momen pahit Desember yang tak layak disebut “menakjubkan”. Tapi entah itu buruk atau baik, aku berharap semua momen di bulan Desember selalu menakjubkan dan berarti bagimu, Aggie.
Well , selanjutnya aku tidak akan bercerita panjang lebar mengenai Mac. Ia sahabat masa kecil Aggie dan aku tahu Mac adalah pria yang baik dan penuh kasih. Mulanya aku tidak percaya ketika Aggie memberitahuku ia berkencan dengan Mac. Karena Aggie, kurasa kau pernah mengatakan bahwa Mac bukan tipemu. Hahaha. Aku ingatkan sekali lagi, Mac. Walaupun Aggie hanya punya satu tangan, dia adalah wanita yang cukup aktif. Aku tidak akan heran jika ia selalu membujukmu lari pagi bersama atau pergi berkemah di Trial Bay Gaol pada akhir pekan minggu pertama musim semi alih-alih bermalas-malasan di rumah.
Untuk pertama kalinya, aku mengajak kalian semua untuk berdiri, mengangkat gelas tinggi-tinggi, dan bersulang untuk pasangan yang berbahagia di bulan Desember ini.
Remember December . Aggie dan Mac Rydeen.[]
Kalau sudah punya gambaran lebih jelas, yuk langsung simak ketentuan lomba di bawah ini!